Kamis, 13 Desember 2012


http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcT0OvTqikNxbMTmOqHthCUPay9H-g1Z95HmcwjWG-XfOzsv4yTX
                         
Biografi  Erik H Erikson
Erik Erikson dilahirkan pada 15 Juni 1902 di Danish dekat kota Frankfurt, Jerman. Sejak lahir ia sudah tidak punya ayah karena orangtuanya telah berpisah sehingga Erik dibesarkan oleh ibunya. Mereka pindah ke Karlsruhe lalu ibunya menikah dengan dr. Homburger yang berkebangsaan Jerman, ayah kandung Erik sendiri orang Denmark. Saat itu Erik berusia 3 th dan pada awal remaja ia mengetahui bahwa nama sisipan diberikan karena Homburger adalah ayah tirinya. Erik tidak dapat menyelesaikan sekolah dengan baik karena ketertarikannya pada berbagai bidang khususnya seni dan pengetahuan bahkan ia sempat berpetualang sebagai artis dan ahli pikir di Eropa tahun 1920-1927. Identitas religius awalnya ialah Yudaisme sebagai warisan keluarga tetapi Erikson kemudian memilih Kristen Lutheran.









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tahap perkembangan anak
Perkembangan Anak Apa beda antara orang dewasa dengan anak-anak dalam hal perkembangan jiwanya? Bedanya yang paling mendasar adalah ,untuk anak-anak ,perkembangan jiwanya ditentukan oleh pengaruh faktor eksternal diluar dirinya. Seorang pakar psikologi, Eric erikson, menyimpulkan bahwa perkembangan anak itu mengalami enam tahap dan setiap tahapnya menawarkan potensi kemajuan dan potensi kemunduran.( Human Development;1978). Sebagian orang berpendapat bahwa mengajar di Sekolah bukanlah pekerjaan yang sukar. Anggapan seperti inilah yang sering menjadi penyebab kegagalan dalam mengajar. Karena disamping persiapan mengajar yang matang, seorang Guru Sekolah  dituntut untuk memahami/memperhatikan perkembangan Psikologi Anak berdasarkan usianya dengan Cara Mengetahui Tahap Perkembangan Anak. Hal ini akan berpengaruh pada tehnik mengajar yang harus digunakan sesuai dengan perkembangan usia mereka. Dari berbagai ahli yang menyusun tentang tingkat perkembangan anak ini, maka dalam pembahasan inipun dibatasi sampai pada usia pra-remaja dengan perkembangan normal.
B.     Cara Mengetahui Tahap Perkembangan Anak
Kemudian setelah itu kita ketahui Perkembangan anak secara PSYCHO-SOSIAL, Menurut ERICK ERICKSON perkembangan Psycho-sosial atau perkembangan jiwa manusia yang dipengaruhi oleh masyarakat dibagi menjadi beberapa tahapan:
1. Trust X Mistrust (usia 0-1 tahun)
Tahap pertama adalah tahap pengembangan rasa percaya diri.
Fokus terletak pada Panca Indera, sehingga mereka sangat memerlukan sentuhan dan pelukan.
2. Otonomi/Mandiri X Malu/ Ragu-ragu (usia 2-3 tahun)
Tahap ini bisa dikatakan sebagai masa pemberontakan anak atau masa ‘nakal’-nya. sebagai contoh langsung yang terlihat adalah mereka akan sering berlari-lari dimana pun dan kapanpun. Namun kenakalannya itu tidak bisa dicegah begitu saja, karena ini adalah tahap dimana anak sedang mengembangkan kemampuan motorik (fisik) dan mental (kognitif), sehingga yang diperlukan justru mendorong dan memberikan tempat untuk mengembangkan motorik dan mentalnya. Pada saat ini anak sangat terpengaruh oleh orang-orang penting di sekitarnya (Orang Tua – Guru Sekolah).
3. Inisiatif X Rasa Bersalah (usia 4-5 tahun)
Dalam tahapan ini anak akan banyak bertanya dalam segala hal, sehingga berkesan cerewet. Mereka mengalami pengembangan inisiatif/ ide, sampai pada hal-hal yang berbau fantasi. Mereka sudah lebih bisa dalam mendengarkan kisah- kisah dan tokoh- tokoh.
4. Industri/ Rajin X Inferioriti (usia 6-11 tahun)
Anak usia ini sudah terbiasa mengerjakan tugas-tugas sekolah – termotivasi untuk belajar. Namun masih memiliki kecenderungan untuk kurang hati-hati dan menuntut perhatian dari orang- orang penting disekitarnya.
C. Biografi  Singkat Erik H. Erikson (1902-1994)
Erik Homburger Erikson adalah salah seorang toritisi ternama dalam bidang perkembangan rentang-hidup, ia juga memiliki kontribusi yang banyak dalam bidang psikologi terutama pada pengembangan anak dan krisis identitas.Ia lahir di Franfrurt Jerman, pada tanggal 15 Juni 1902. Ayahnya bernama Danis, telah meninggal dunia sebelum ia lahir. Hingga akhirnya pada saat remaja, ibunya (yang seorang Yahudi) menikah lagi dengan psikiater yang bernama Dr. Theodor Homberger.
Semasa kecilnya, Erikson dikenal sebagai anak yang tidak pandai, ia tidak menyukai pendidikan formal, sebaliknya ia lebih dikenal sebagai  seseorang yang menyukai pengembaraan. Bagaimanapun ia tetap menempuh pendidikan formal tetapi gagal meneruskan program diplomanya. Tetapi perjalanan Erikson ke beberapa negara dan perjumpaannya dengan beberapa penggiat ilmu menjadikannya seorang ilmuwan sekaligus seniman yang diperhitungkan. Pertama, ia berjumpa dengan ahli analisa jiwa dari Austria yaitu Anna Freud. Atas dorongan Anna Freud, ia mulai mempelajari ilmu jiwa di Vienna Psychoanalytic Institute, kemudian ia mengkhususkan diri dalam psikoanalisa anak. Akhirnya pada tahun 1960 ia dianugerahi gelar profesor dari Universitas Harvard.
Setelah menghabiskan waktu dalam perjalanan panjangnya di Eropa Pada tahun 1933 ia kemudian berpindah ke USA dan kemudian ditawari untuk mengajar di Harvad Medical School. Selain itu ia memiliki pratek mandiri tentang psiko analisis anak. Terakhir, ia menjadi pengajar pada Universitas California di Berkeley, Yale, San Francisco Psychoanalytic Institute, Austen Riggs Center, dan Center for Advanced Studies of Behavioral Sciences.
Selama periode ini Erikson menjadi tertarik akan pengaruh masyarakat dan kultur terhadap perkembangan anak. Ia belajar dari kelompok anak-anak Amerika asli untuk membantu merumuskan teori-teorinya. Berdasarkan studinya ini, membuka peluang baginya untuk menghubungkan pertumbuhan kepribadian yang berkenaan dengan orangtua dan nilai kemasyarakatan.
Buku pertamanya adalah Childhood dan Society (1950), yang menjadi salah satu buku klasik di dalam bidang ini. Saat ia melanjut pekerjaan klinisnya dengan anak-anak muda, Erikson mengembangkan konsep krisis perasaan dan identitas sebagai suatu konflik yang tak bisa diacuhkan pada masa remaja. Buku-buku karyanya antara lain yaitu: Young Man Luther (1958), Insight and Responsibility (1964), Identity (1968), Gandhi’s Truth (1969): yang menang pada Pulitzer Prize and a National Book Award dan Vital Involvement in Old Age (1986).
D. Teori Perkembangan Psikososial Erik H. Erikson
Istilah “psikososial” dalam kaitannya dengan perkembangan manusia berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai mati dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara fisik dan psikologis. Perkembangan psikososial juga bisa diartikan berhubungan dengan perubahan-perubahan perasaan atau emosi dan kepribadian serta perubahan dalam bagaimana individu berhubungan dengan orang lain.
Teori perkembangan kepribadian yang dikemukakan Erik H. Erikson merupakan salah satu teori yang memiliki pengaruh kuat dalam psikologi. Bersama dengan Sigmund Freud, Erikson mendapat posisi penting dalam psikologi. Hal ini dikarenakan ia menjelaskan tahap perkembangan manusia mulai dari lahir hingga lanjut usia, satu hal yang tidak dilakukan oleh Freud. Selain itu karena Freud lebih banyak berbicara dalam wilayah ketidaksadaran manusia, teori Erikson yang membawa aspek kehidupan sosial dan fungsi budaya dianggap lebih realistis.
Erikson dalam membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan erat dengan kehidupan pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Erikson berpendapat bahwa pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis yang diletakkan oleh Freud. Jadi dapat dikatakan bahwa Erikson adalah seorang post-freudian atau neofreudian. Akan tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan. Hal ini terjadi karena dia adalah seorang ilmuwan yang punya ketertarikan terhadap antropologis yang sangat besar, bahkan dia sering meminggirkan masalah insting dan alam bawah sadar. Oleh sebab itu, maka di satu pihak ia menerima konsep struktur mental Freud, dan di lain pihak menambahkan dimensi sosial-psikologis pada konsep dinamika dan perkembangan kepribadian yang diajukan oleh Freud.
Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Pusat dari teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah sebuah asumsi mengenai perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan secara universal dalam kehidupan setiap manusia.
E. Tahap-Tahap Perkembangan Psikososial Erik H. Erikson
Menurut teori psikososial Erikson, perkembangan manusia dibedakan berdasarkan kualitas ego dalam delapan tahap perkembangan. Empat tahap pertama terjadi pada masa bayi dan masa kanak-kanak, tahap pertama pada masa adolesen, dan tiga terakhir pada masa dewasa dan usia tua. Dari delapan tahap perkembangan tersebut, Erikson lebih menekankan pada masa adolesen, karena masa tersebut merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Apa yang terjadi pada masa ini, sangat penting artinya, bagi kepribadian dewasa. Berikut ini adalah delapan tahap perkembangan psikososial Erikson:
·         Tahap kepercayaan dan ketidakpercayaan (Trust vs Mistrust)
Tahap ini terjadi selama tahun-tahun pertama kehidupan, yaitu usia kira-kira 0-1 tahun. Pada tahap ini, bayi mengalami konflik antara percaya dan tidak percaya (Trust vs Mistrust). Keadaan percaya “trust” menurut Erikson pada umumnya mengandung tiga aspek yaitu :
A.    Bahwa bayi belajar percaya pada kesamaan dan kesinambungan dari pengasuh diluarnya
B.     Bahwa bayi belajar percaya diri dan dapat percaya pada kemampuan organ-organnya sendiri untuk menaggulangi dorongan-dorongan
C.     Bahwa bayi menganggap dirinya cukup dapat dipercaya sehingga pengasuh tak perlu waspada dirugikan.
Menurut Erikson, bukti pertama yang menunjukkan adanya kepercayaan sosial pada bayi dapat terlihat ketika kebutuhan oralis bayi terpenuhi, misalnya kepuasan atau kesenangannya dalam menikmati air susu, kepulasan tidur, dan kemudahan membuang air besar. Erikson yakin bahwa bayi mempelajari rasa percaya apabila mereka diasuh dengan cara yang konsisten dan hangat. Pada saat itu, hubungan bayi dengan ibu sangatlah penting. Kalau ibu memberinya makan, membuatnya hangat, memeluk dan mengajaknya bicara, maka bayi tersebut akan memperoleh kesan bahwa lingkungannya dapat menerima kehadirannya secara hangat dan bersahabat. Inilah yang menjadi landasan pertama bagi rasa percaya.
Sebaliknya kalau ibu tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi, maka dalam diri bayi akan timbul rasa ketidakpercayaan kepada lingkungannya. Oleh karena itu kadang-kadang bayi menangis bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia bukan saja tidak percaya kepada orang-orang yang asing tetapi juga kepada benda asing, tempat asing, suara asing, perlakuan asing dan sebagainya. Kalau menghadapi situasi-situasi tersebut seringkali bayi menangis.
Pengalaman akan adanya suatu pengaturan timbal balik antara peningkatan kemampuan bayi untuk menerima cara-cara pengasuhan ibu, secara berangsur-angsur membantu anak mengimbangi keadaan tidak senang yang disebabkan oleh ketidak matangan homeostatis yaitu kecenderungan bagi organ-organ tubuh dan darah untuk mempertahankan diri agar tetap konstan yang menyertai ia sejak lahir. Seiring dengan timbulnya rasa senang dalam diri bayi, maka pada saat bangun ia berangsur-angsur menemukan bahwa panca inderanya telah akrab dengan lingkungan. Bentuk-bentuk rasa senang dan orangorang yang berkaitan dengan rasa senang itu, akan menjadi sama biasa seperti rasa sangat tidak senang karena buang air besar. Oleh sebab itu, prestasi sosial pertama bayi adalah kerelaannya membiarkan ibu hilang dari pandangan tanpa kecemasan dan kemarahan, karena ibu sudah menjadi keastian batin dan kehadirannya kembali sdah dapat dipastikan.
Dengan demikian, bayi yang memiliki rasa percaya dalam dirinya cenderung untuk memiliki rasa aman dan percaya diri untuk mengeksplorasi lingkungan yang baru. Sebaliknya bayi yang memiliki rasa tidak percaya (mistrust) cenderung tidak memiliki harapan-harapan positif.
·         Tahap Otonomi dan Perasaan Malu dan Ragu-ragu (Otonomy vs shame and duobt)
Tahap ini merupakan tahap perkembangan psikososial yang berlangsung pada akhir masa bayi dan masa baru pandai berjalan. Otonomi dibangun diatas perkembangan kemampuan mental dan kemampuan motorik. Pada tahap ini, bayi tidak hanya dapat berjalan, tetapi mereka juga dapat memanjat, membuka dan menutup, menjatuhkan, menolak dan menarik, memegang dan melepaskan. Bayi merasa bangga dengan prestasi ini dan ingin melakukan segala sesuatu sendiri, apakah itu menyiram jamban, membuka bungkusan paket, atau memutuskan apa yang akan dia makan. Selanjutnya, mereka juga dapat belajar mengendalikan otot mereka dan dorongan keinginan diri mereka sendiri.
Dengan demikian, setelah memperoleh kepercayaan dari pengasuh mereka, bayi mulai menemukan bahwa perilaku mereka adalah milik mereka sendiri. Mereka mulai menyatakan rasa mandiri atau otonomi mereka. Mereka menyadari kemauan mereka. Pada tahap ini, bila orang tua selalu memberikan dorongan kepada anak agar anak dapat berdiri di atas kedua kaki mereka sendiri, sambil melatih kemampuan-kemampuan mereka, maka anak kan mampu mengembangkan pengendalian atas otot, dorongan, lingkungan, dan diri sendiri (otonom). Sebaliknya, jika orang tua cederung menuntut terlalu banyak atau terlalu membatasi anak untuk menyelidiki lingkungannya, maka anak akan mengalami rasa malu dan ragu-ragu yang berlebihan tentang kemampuan mereka untuk mengendalikan diri mereka sendiri dan dunia mereka.
Erikson yakin tahap otonomi vs rasa malu dan ragu-ragu memiliki implikasi yang penting bagi perkembangan kemandirian dan identitas selama masa remaja. Pengembangan otonomi selama tahun-tahunn balita memberi remaja dorongan untuk menjadi individu yang mandiri, yang dapat memiliki dan menentukan masa depan mereka sendiri.
·         Tahap Prakarsa dan rasa bersalah (Initiative vs Guilt)
Yaitu tahap perkembangan psikososial ketiga yang berlangsung selama tahun-tahun prasekolah. Pada tahap ini, anak terlihat sangat aktif, suka berlari, berkelahi, memanjat-manjat, dan suka menantang lingkungannya. Dengan menggunakan bahasa, fantasi, dan permainan khayalan, dia memperoleh perasaan harga diri. Bila orang tua berusaha memahami, menjawab pertanyaan anak, dan menerima keaktifan anak dalam bermain, maka anak akan belajar untuk mendekati apa yang dia inginkan, dan perasaan inisiatif menjadi semakin kuat. Sebaliknya, bila orang tua kurang memahami, kurang sabar, suka memberi hukuman, dan menganggap bahwa pengajuan pertanyaan, bermain dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan anak tidak bermanfaat, maka anak akan merasa bersalah dan menjadi enggan untuk mengambil inisiatif untuk mendekati apa yang diinginkannya.
Masa pra sekolah (Preschool Age) ditandai adanya kecenderungan initiative – guilty. Pada masa ini anak telah memiliki beberapa kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong melakukan beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak tersebut masih terbatas adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak mau berinisatif atau berbuat.
Tahap ketiga ini juga dikatakan sebagai tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan. Dikarenakan sikap inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi, semuanya akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami hambatan karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi dirinya yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa yang mereka rasakan dan lakukan.
Ketidakpedulian (ruthlessness) merupakan hasil dari maladaptif yang keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat pandai mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai suatu rencana baik itu mengenai sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang menghalangi rencananya apa dan siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak saat berada pada periode mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak selalu merasa bersalah akan mengalami malignansi yaitu akan sering berdiam diri (inhibition). Berdiam diri merupakan suatu sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba melakukan apa-apa, sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan merasa terhindar dari suatu kesalahan.
Kecenderungan atau krisis antara keduanya dapat diseimbangkan, maka akan lahir suatu kemampuan psikososial adalah tujuan (purpose). Selain itu, ritualisasi yang terjadi pada masa ini adalah masa dramatik dan impersonasi. Dramatik dalam pengertiannya dipahami sebagai suatu interaksi yang terjadi pada seorang anak dengan memakai fantasinya sendiri untuk berperan menjadi seseorang yang berani. Sedangkan impersonasi dalam pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan oleh seorang anak namun tidak berdasarkan kepribadiannya. Oleh karena itu, rangakain kata yang tepat untuk menggambarkan masa ini pada akhirnya bahwa keberanian, kemampuan untuk bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan pemahaman mengenai keterbatasan dan kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya.
·         Tahap kerajinan dan rasa redah diri (Industry vs Inferiority)
Tahap ini merupakan tahap psikososial keempat yang berlangsung kira-kira pada tahun-tahun sekolah dasar. Pada tahun ini, anak mulai memasuki dunia yang baru, yaitu sekolah dengan segala aturan dan tujuan. Anak mulai mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual. Alat-alat permainan dan kegiatan bermain berangsur-angsur digantikan oleh perhatian pada situasi-situasi produktif serta alat-alat yang dipakai untuk bekerja. Akan tetapi, apabila anak tidak berhasil menguasai keterampilan dan tugas-tugas yang dipilihnya atau oleh guru-guru dan orang tuanya, maka anak akan mengembangkan perasaan rendah dirinya.
Masa Sekolah (School Age) ditandai adanya kecenderungan industry–inferiority. Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak lain karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa rendah diri.
Tahap keempat ini dikatakan juga sebagai tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.

·         Tahap identitas dan kekacauan identitas (Identity vs identity confusion)
Tahap identitas dan kekacauan identitas ini merupakan tahap psikososial yang kelima yang berlangsung selama tahun-tahun masa remaja yaitu usia kira-kira 12-20 tahun.  Tahap ini adalah tahap yang paling diberi penekanan oleh Erikson karena tahap ini merupakan tahap peralihan dari masa anak-anak kemasa dewasa. Peristiwa-peristiwa yang yang terjadi pada tahap ini sangat menentukan perkembngan kepribadian masa dewasa.
Pada tahap ini, anak dihadapkan degan pancarian jati diri. Ia mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah individu unik. Ia mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya, seperti kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan-tujuan yang diinginkan tercapai dimasa mendatang, kekuatan dan hasrat untuk mengontrol kehidupannya sendiri, yang siap memasuki suatu peran yang berati ditengah masyarakat, baik peran yang bersifat menyesuaikan diri ditengah masyarakat, baik peran yang bersifat menyesuaiakan diri maupun yang bersifat memperbaharui.
Akan tetapi, karena peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa di satu pihak dan karena kepekaan terhadap perubahan sosial dan historis dipihak lain, maka selama tahap pembentukan identitas ini seorang remaja mungkin merasakan penderitaan paling dalam dibandingkan msa-masa lain  akibat kekacauan peranan ataupun kekacauan identitas. Bila krisis ini tidak segera diatasi maka anak akan mengalami kebingungan peran atau kekecauan identitas, yang dapat menyebabkan anak merasa terisolasi, cemas, hampa, dan bimbang. Selama masa kekacauan identitas ini tingkah laku remaja tidak konsosten dan tidak dapat diprediksikan. Pada satu saaat mungkin ia lebih tertutup terhadap siapapun, karena takut ditolak atau dikecewakan. Namun pada saat lain ia mungkin ingin menjadi pengikut ataupendinta dengan tidak memperdulikan konsekuensi-konsekuensi dari komitmennya.
Berdasar kondisi demikian, maka menurut Erikson salah satu tugas perkembangan selama masa remaja adalah menyelesaikan krisis identitas, sehingga diharapkan terbentuk suatu identitas diri yang stabil pada akhir msa remaja.
·         Tahap keintiman dan isolasi (intimacy vs isolation)
Tahap ini dimuai sekitar umur 20-24 tahun yaitu masa awal dewasa. perkembangan psikososial keenam yang dialami individu selama tahun-tahun awal masa dewasa. Jika pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebayanya, maka tugas perkembangan individu pada masa ini adalah membentuk relasi intim dengan orang lain. Menurut erikson, keintiman tersebut biasanya menuntut perkembangan seksual yang mengarah pada hubungan seksual dengan lawan jenis yang dicintai. Bahaya dari tidak tercapainya keintiman selama tahap ini adalah isolasi, yakni kecenderungan menghindari berhubungan secara intim dengan orang lain, kecuali dalam ingkup yang amat terbatas.
Keintiman dapat diartikan sebagai suatu kemampuan memperhatikan orang lain dan membagi pengelaman dengan mereka. Orang yang tidak dapat mejalin hubungan intim dengan orang lain akan terisolasi, menurut Erikson, pembentukan hubungan intim ini merupakan tantangan utama yang dihadapi oleh orang yang memasuki masa dewasa. Pada masa dewasa ini, orang-orang telah siap dan igin menyatukan identitasnya dengan orang lain. Mereka meenambakan hubungan-hubungan yang intim dan akrab dilandasi dengan persaudaraan, serta siap mengembangkan daya-daya yang idbutuhkan untuk memenuhi komitmen sekalipun mungkin mereka harus berkorban untuk itu. Dalam suatu studi ditunjukkan bahwa hubungan intim mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan psikologis dan fisik seseorang, Orang-orang yang mempunyai tempat unutk berbagi ide, perasaaan dan masalah, mereka lebih bahagia dan lebih sehat dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki tempat untuk berbagi.
Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas, sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat, tetangga, bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara dari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta, persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Oleh sebab itu, kecenderungan antara keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai yang positif yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan lain-lain.

·         Tahap generativitas dan stagnasi (generativity vs stagnation)
Tahap ini merupakan tahap psikososial ketujuh yang dialami individu selama pertengahan masa dewasa. Ciri utama tahap generativitas adalah perhatian terhadap apa yang dihasilkan (keturunan, ide-ide, dan sebagainya) serta pembentukan dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasi mendatang. Kepedulian seseorang terhadap pengembangan generasi muda inilah yang diistilah oleh Erikson dengan “generativitas” . Apabila generativitas ini lemah atau tidak diungkapkan, maka kepribadian akan mundur, mengalami pemiskinan dan stagnasi.
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun. Masa Dewasa (Adulthood) ditandai adanya kecenderungan generativity-stagnation. Sesuai dengan namanya masa dewasa, pada tahap ini individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga perkembangan individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan individu sangat luas, tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan kecakapan, sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk mengerjakan atau mencapai hal– hal tertentu ia mengalami hambatan.
Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui generativitas akan dapat dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman ini sangat jauh berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap yang dapat digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap siapapun.
Maladaptif yang kuat akan menimbulkan sikap terlalu peduli, sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengurus diri sendiri. Selain itu malignansi yang ada adalah penolakan, di mana seseorang tidak dapat berperan secara baik dalam lingkungan kehidupannya akibat dari semua itu kehadirannya ditengah-tengah area kehiduannya kurang mendapat sambutan yang baik.



·         Tahap integritas dan keputusasaan (integrity vs despair)
Tahap ini merupakan tahap kedelapan yang dialami individu selama akhir masa dewasa. Integritas paling tepat dilukiskan sebagai suatu keadaan yang dicapai seseorang setelah memelihara benda-benda, orang-orang, produk-produk dan ide-ide serta setelah berhasil melakukan penyesuaian diri dengan berbagai keberhasilan dan kegagalan dalam kehidupannya. Integritas terjadi pada tahun-tahun terakhir kehidupannya menoleh ke belakang dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan dalam hidupnya selama ini, menerima dan menyesuaikan diri dengan keberhasilan, dan kegagalan yang dialaminya, merasa aman dan tentram, serta menikmati hidup sebagai yang berharga dan layak.
Lawan dari integritas adalah keputus asaan tertentu dalam menghadapi perubahan-perubahan siklus kehidupan individu, terhadap kondisi-kondisi sosial dan historis, ditambah dengan kefanaan hidup menjelang kematian. Kondisi ini daat memperburuk perasaaan bahwa kehidupan ini tidak berarti, bahwa ajal sudah dekat dan ketakutan akan kematian. Seseorang yang berhasil menangani masalah yang timbuk pada setiap tahap kehidupan sebelumnya, maka dia akan mendapatkan erasaan yang utuh atau integritas. Sebaliknya, seseorang tua yang meninjau kembali terhadap kehidupannya silam dengan penuh penyesalan,  menilai kehidupan sebagai suatu rangkaian hilangnya kesemapatan dan kegagalan, maka pada tahu-tahun akhir kehidupan ini merupakan tahun-tahun yang penuh dengan keputusasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar